Tana Tidung (HUMAS KTT) Rabu Abu atau Ash Wednesday diperingati umat Katolik di seluruh dunia sebelum merayakan Hari Paskah. Pada tahun ini, Rabu Abu jatuh pada hari ini, Rabu (14/2/2024). Hari ini menjadi hari yang spesial, karena bisa melaksanakan tiga moment penting yaitu penerimaan abu bagi umat katolik, berlangsungnya pemilihan umum bagi bangsa Indonesia, dan Valentine day.

Perayaan ekaristi rabu abu berlansung di gereja St. Fransiskus Xaverius Bebakung, Kec. Betayau, Kab.Tana Tidung pada pukul 18.00 WITA. Perayaan dipimpin oleh Pastor Markus.

Nasarius selalu Penyuluh Katolik menyampaikan Dalam perayaan rabu abu dihadiri bukan hanya umat katolik dari Stasi St. Fransiskus Xaverius, tetapi juga di hadiri oleh umat katolik dari Stasi Sta. Katarina Kasai, Stasi St. Mikael Tembalang, dan Stasi St. Petrus Kujau. Umat katolik yang hadir diperkirakan 70 orang.

Rabu Abu adalah hari pertama masa Pra Paskah, yang menandai Gereja Katolik sejagat mulai memasuki masa tobat, 40 hari sebelum Paskah. Angka 40 mempunyai makna rohani. Dalam Gereja Katolik, masa puasa selama 6 hari seminggu (hari Minggu tidak di hitung, karena hari Minggu dianggap sebagai peringatan Kebangkitan Yesus), maka masa puasa berlansung selama 6 minggu ditambah 4 hari, sehingga genap 40 hari.

Mungkin ada yang bertanya mengapa masa puasa dalam gereja katolik di mulai dari hari Rabu? Cara menghitungnya adalah hari raya paskah terjadi hari Minggu, dikurangi 36 hari (6 minggu), lalu dikurangi lagi 4 hari, dihitung mundur, maka jatuh pada hari Rabu. Jadi penentuan awal masa Prapaskah pada hari Rabu disebabkan karena penghitungan 40 hari sebelum hari Minggu Paskah, tanpa menghitung hari Minggu.

Lalu, pertanyaan berikut adalah, mengapa disebut dengan Rabu Abu? Disebut Rabu Abu karena dalam perayaan misa tersebut umat yang hadir mendapatkan berkat abu di dahi. Penerimaan abu ini menandai dimulainya retret agung selama 40 hari. Abu yang ditandai di dahi diperoleh dari hasil pembakaran daun palma kering yang telah diberkati dan telah digunakan pada misa Minggu Palma setahun sebelumnya. Kalimat yang di ucapkan oleh pastor atau pun prodiakon pada saat mengoleskan abu di dahi adalah “Ingatlah, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. Atau Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.

Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama penggunaan abu melambangkan duka, kematian dan tanda pertobatan. Kitab Ester misalnya, mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar keputusan raja Ahasyweros atau Xerxes I (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi di Kekaisaran Persia (Ester 4:1). Selanjutnya, Ayub bertobat dalam kain karung dan abu (Ayub 42:6). Menubuatkan penawanan Babilonia, Daniel menuliskan, “Aku berbalik kepada Tuhan, berdoa dalam doa yang sunguh-sungguh, dengan puasa kain kabung dan abu” (Dan 9:3). Pewartaan Yunus, kota Niniveh mengumumkan puasa dan mengenakan kain kabung dan raja menutupi dirinya dengan kain kabung dan duduk di abu (Yunus 3:5-6).

Contoh-contoh kisah dalam Perjanjian Lama tersebut menunjukkan praktik penggunaan abu dan makna yang terkandung di dalamnya. Gereja perdana melanjutkan penggunaan abu untuk alasan simbolis yang sama. Tertulianus dalam bukunya “De Poenitentia atau Pertobatan” menyatakan “Orang yang bertobat harus menanggung dukacita dalam kasarnya kain kabung dan kotornya abu”. Itulah beberapa alasan yang menjadi asal usul Gereja Katolik mengenakan abu yang menandai awal masa prapaskah.

Penerimaan abu sudah masuk dalam liturgi Gereja Katolik. Ada bahaya bahwa orang hanya melihat dan terpaku pada ritualnya, dan kurang memahami penghayatannya dalam kehidupan sosial. Katekismus gereja katolik mengingatkan kita melalui sabda Yesus, agar kita jangan terjebak hanya pada ritual, melainkan memberikan makna dalam tindakan nyata. Dalam hal ini makna penggunaan abu adalah pertobatan batin yang diwujudnyatakan dalam tanda-tanda yang kelihatan dan dalam kegiatan dan karya pertobatan (KGK 1430-1431). Sesungguhnya abu yang dioleskan di dahi merupakan tanda pertobatan hati, agar kita menyadari betapa rapuhnya manusia dan betapa pentingnya mengandalkan hidup pada keramiman Allah. Dengan menyadari kerapuhan hidup manusia, maka harus membangun niat tobat dan tekad untuk hidup suci.

Simbol penggunaan abu dalam Gereja Katolik pada hari Rabu Abu, mengingatkan umat katolik akan ritual Israel kuno di mana seseorang menabur abu di atas kepalanya atau di seluruh tubuhnya sebagai tanda kesedihan, penyesalan, dan pertobatan (misalnya seperti dalam Kitab Ester 4:1, 3). Dalam Mazmur 102:10 penyesalan juga digambarkan dengan “memakan abu”. Rabu abu sebagai hari untuk mengingatkan kefanaan hidup manusia. Rabu Abu menjadi hari yang secara khusus diperuntukkan bagi para pendosa yang ingin kembali ke dalam Gereja dan menyesali atas semua dosa dalam wujud pertobatan. Abu ini akan menjadi pengingat atas semua dosa yang sudah diperbuat dan umat Katolik sendiri umumnya akan membiarkan abu tersebut tetap berada di dahi sebagai wujud kerendahan hati.

Di sisi lain, abu melambangkan kefanaan manusia. Baik secara materiil maupun nonmateriil, sifat alamiah manusia adalah fana. Secara materiil, tubuh manusia akan lekang ditelan zaman. Tubuh manusia akan mengalami penuaan dan pada waktunya akan mengalami kematian biologis dan tidak lagi mampu mempertahankan kehidupan. Kerapuhan tubuh manusia senantiasa mengingatkan kepada kita bahwa kehadiran tubuh kita di dunia hanya dalam hitungan waktu yang singkat sebelum waktunya tiba untuk melepaskan jasad keduniawian. Secara nonmateriil, jiwa manusia rentan terjerumus ke dalam dosa dan kesalahan. Sifat alamiah manusia yang penuh hawa nafsu mendorongnya untuk mendekati hal-hal yang merusak diri sendiri. Sehingga, abu melambangkan bahwa kerentanan yang dimiliki oleh jiwa manusia menjadi salah satu aspek yang harus selalu diingat dalam benak terdalam diri manusia.

Selain tanda pertobatan, Rabu Abu menandakan awal masa pantang dan puasa selama 40 hari sebelum Paskah. KHK 1251-1252 menjelaskan puasa dan pantang. Puasa diartikan makan kenyang hanya satu kali dalam sehari. Sedangkan pantang berarti memilih untuk mengurangi segala sesuatu (makanan atau kebiasaan yang mengenakkan dan nikmat) demi rasa solidaritas yang tinggi dengan sesama yang berkekurangan. Tidak makan daging dan ikan, tidak minum kopi dan sopi, mengurangi rokok, jajan, main HP, belanja, dll., merupakan contoh-contoh konkret dari berpantang yang merupakan usaha matiraga dan tobat. Dalam masa prapaskah ini diharapkan sebagai langkah praktis pantang dan puasa untuk melakukan 3B (Berdoa, Bermatiraga dan Beramal).