Tana Lia (HUMAS KTT) Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah 1444 hijriyah / 29 Juni 2023 Masehi disambut meriah oleh seluruh Umat Islam. Pada kesempatan ini juga, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tana Lia dipercayakan untuk bertugas menyampaikan khutbah Idul Adha di salah satu Masjid di Kecamatan Tana Lia. Kamis (29/06/2023)

Busrani dalam khutbahnya menyampaikan “Dalam menempu perjalanan hidup menuju kesempurnaan diri, setiap Muslim dituntut untuk berkorban sebagai pertanda bahwa dia sedang mencari Allah, menuju dan mendekati Allah. Sebab tidak mungkin seseorang akan bisa mendekati Allah dan menemukan cinta yang hakiki, tanpa lebih dahulu berkorban. Bagaimana mungkin Allah mau mencintai hambaNya kalau hamba itu tidak pernah “mau” mencintai Allah…? Bukankah cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan? Bukankah tanda cinta adalah korban.?  Mengorbankan harta dan diri adalah tanda cinta yang hakiki dan itu tidak mungkin didapat tanpa korban dijalan Allah.”

Berkorban adalah tahapan penting dalam membebaskan diri dari berbagai sifat tercela yang menyebabkan kita jauh dari Allah, sekaligus sebagai tahapan membebaskan diri dari ketergantungan kepada makhluk. Tahapan ini teramat penting dalam menentukan jati diri seorang hamba dihadapan Allah SWT.

Menyatakan bahwa hanya Allah yang ada dihati itu memang mudah, tapi membuktikannya tidak semudah menyatakannya. Karena itu, untuk memindahkan pernyataan lidah kedalam hati, kita harus banyak menyebut dan membicarakan  Kebesaran Allah, banyak merenungi Kekuasaan Allah dan banyak belajar tentang Allah SWT.. Diantara pelajaran itu ialah kita menelusuri perjalanan “Keluarga Ibrahim”, perjalanan yang menceriterakan “pengalaman batin tiga insan teladan”, perjalanan yang terpatri dalam Al-Qur’an, perjalanan yang diabadikan dalam  syari’at  pelaksanaan “Ibadah Haji” bagi ummat Muhammad saw.

‘Perjalanan haji pada hakekatnya adalah “napak tilas” perjalanan “keluarga Ibrahim” sekaligus memperingati peristiwa “Haji Wada’“ haji perpisahan antara Nabi Besar Muhammad saw. dengan para sahabatnya.” Ungkap Busrani

Busrani melanjutkan “ Diceritakan, Setelah Ujian Ibrahim meninggalkan Siti Hajar dan Ismail yang menjadi sejarah Sai antara bukit safa dan Marwa, Sejarah Air Zam Zam dan sejarah awal Kota Makkah, dan setelah tiga belas tahun lamanya Nabi Ibrahim menahan kerinduannya, dia kembali menengok anak dan istrinya dengan Menempuh Perjalanan 1600 Km Perjalanan dari Palestina menuju padang tandus saat itu tana Suci Makkah. Dalam pertemuannya yang amat mengharukan itu dipeluknya Ismail erat-erat, diciumnya dengan ciuman rindu yang amat dalam. Tiba-tiba dalam pelukan kasing sayang yang amat berbahagia itu, datang lagi perintah yang lebih berat dari sebelumnya. Perintah menyembelih anaknya yang cuma satu-satunya itu untuk dikorbankan demi kebenaran. Dapat dibayangkan perasan Nabi Ibrahim disaat itu. Dulu disaat anaknya masih hangat dalam pelukan, dia diperintah untuk meningalkannya ditengah bukit batu. Kini, setelah 13 tahun menahan rindu, setelah kehangatan itu baru dimulai, diperintah lagi untuk menyembelih anaknya.”

Sungguh ini adalah perintah Allah SWT. untuk memberi pelajaran yang besar, bahwa mencintai makhluk tidak akan memberikan kebahagiaan yang hakiki.  Cinta makhluk hanya akan menyengsarakan, cinta dunia hanya akan membuat orang tertipu. Cinta yang hakiki adalah mencintai Allah SWT, mencintai kebenaran.

Ibrahim menahan perasan harunya yang mendalam, dia sembunyikan cintanya kepada anaknya. Dia pasra kepada keputusan Allah, dia yakin bahwa dibalik perintah, ada kejayaan. Maka disebuah pelosok lembah Mina yang sepi, dia memanggil anaknya untuk mengabarkan perintah ini kepadanya. Ismailpun datang menghadap. Ibrahim hanya bisa menatap wajah anaknya dengan parasan yang sulit dikatakan. Dia sembunyikan perasaan cntanya yang membara untuk mentaati Allah.

Sejenak dia hampir tidak kuasa membuka mulutnya. Namun dengan kekuatan jiwa “kesatrianya”, sambil menyerah kepada Kehendak Allah Yang Maha Rahim iapun berkata  :

يــــبُنَيَّ إِنِّيْ أَرَى في الْمَنَامِ أَنِّيْ أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى…”

“Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku diperintahkan menyembelih engkau, bagaimana pendapatmu” Ash-Shaaffaat  102

Kata-kata itu begitu cepat diucapkannya, agar tidak didengar oleh telinganya sendiri. Setelah itu ia membisu, ia takut gejolak batinnya, ia takut cintanya kepada Ismail akan mengalahkan ketha’atnya kepada Allah, ia tidak mampu menatap wajah anaknya.  Ismail memandang ayahnya, ia memahami gejolak batin ayahnya, ia berusaha memberikan ketenangan kedalam jiwa ayahnya, lalu dengan mantap ia berkata :

يـاـأبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِيْ إن شَاء اللهَ مِنَ الصــبِرِيْنَ.

“Wahai ayahku, laksanakan apa yang diperintah, mudah-mudahan ayah akan menjumpai aku tergolong orang-orang yang sabar”. Ash-Shaaffaat  102

Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar…!

Jawaban yang luar biasa dari seorang anak yang tidak pernah dibesarkan oleh ayahnya. Sungguh.., adegan yang amat mencekam tapi sangat mengharukan. Seorang anak bukan saja mengatakan siap dikorbankan, melainkan justru membesarkan jiwa ayahnya. Adegan yang mengejutkan penduduk langit. Adegan yang membuat alam hening sejenak, adegan yang membuat Arasy bergetar, adegan yang  diluar dugaan manusia. Ismail siap menerima “gesekan pisau pengorbanan” yang akan mengakhiri hayatnya. “Allahu Akbar…! Betapa besar jiwa Ismail, betapa mengharukan ayahnya jawaban tersebut, sekaligus sebagai pendorong  bagi ayah untuk  segara melaksanakan perintah Allah. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan, Ismail masih sempat berpesan kepada ayahnya :

“Wahai ayah, ikatlah kedua tanganku erat-erat, agar aku tidak bergerak, sehingga mengganggu ayah. Hadapkan wajahku ketanah, agar ayah tidak terharu memandangku, sehingga timbul kasih sayang ayah padaku. Jagalah pakainmu ayah dari percikan darahkku, agar ibu tidak bersedih melihatnya. Asahlah baik-baik pisaumu ayah, agar berlalu cepat dileherku. Bawalah pakaianku ini pada ibuku, sebagai kenang-kenangan untuknya dan sampaikan salamku padanya, agar ibu tetap bersabar menjalankan perintah Allah. Jangan beritahukan kepadanya bagaimana ayah mengikat dan menyembelihku, agar ibu tidak bertambah sedih. Untuk sementara waktu, jangan ada anak-anak sebayaku yang mendatangi ibuku, agar dia tidak teringat padaku sehingga dia bersedih dan bersusah hati”.

Allahu Akbar…, sungguh mengagumkan..! Tidak ada seorang manusia yang dapat membayangkan percakapan yang sangat bersahabat dan mengharukan ini. Dua insan yang saling mencintai, akan melakukan “pengorbanan agung”. Yang satu bertugas menyembelih dan yang lain siap disembelih. Sungguh suatu adegan yang amat mencekam dan mengharukan.

Setelah nyata kedua insan ini akan melakukan pengorbanan, Rahmat  dan Kodrat Allah turun, bersamaan dengan seekor “kibasy”, yang berarti Ismail tidak jadi dikorbankan, karena memang Allah tidak menghendakinya. Allah hanya ingin menguji ketha’atan Ibrahim, dan setelah ketha’atan itu nampak, Allah menggantinya dengan seekor kibasy, sebagai tebusan darah Ismail.  Maka barang siapa yang berkorban di hari Hari Raya Iidil Adhha ini, itu berari dia turut serta menebus darah Ismail, menebus pengorbanan agung.